Ketahui Kisah Penyintas Skizofrenia Katatonik, Merasa 'Tubuhku Milik Orang Lain' Demi bertahan hidup dan sembuh
Senin, 26 Mei 2025 oleh journal
Kisah Penyintas Skizofrenia Katatonik: Ketika Raga Bukan Lagi Milikku
Bayangkan, suatu hari kamu terbangun dan menyadari tubuhmu tak lagi bisa dikendalikan. Inilah yang dialami Stephania Shakila Cornelia, seorang penyintas skizofrenia katatonik.
Sekitar tahun 2018, Thepi, sapaan akrabnya, merasakan keanehan yang luar biasa. Lidahnya kelu, tubuhnya kaku bagai patung. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berbicara, bahkan hanya untuk memanggil namanya sendiri, namun sia-sia. Ia terbaring tak berdaya, terperangkap dalam tubuhnya sendiri.
"Rasanya sulit dijelaskan. Tiba-tiba saja tubuhku berhenti berfungsi. Kaku, tidak bisa bicara, tidak bisa bergerak, seperti lumpuh. Tapi ternyata bukan stroke," ungkap perempuan berusia 33 tahun ini kepada CNNIndonesia.com, menceritakan pengalamannya sebagai penyintas skizofrenia.
Setelah dirujuk ke Sanatorium Dharmawangsa, Thepi menjalani serangkaian pemeriksaan menyeluruh. Dokter melakukan rekam otak, diskusi mendalam, dan observasi perilaku. Hingga akhirnya, diagnosis ditegakkan: skizofrenia katatonik.
"Kamu mengidap skizofrenia katatonik," kata dokter. Thepi terdiam. Kata itu asing dan menakutkan. Ia tak pernah menyangka 'kelumpuhan' yang dialaminya bukanlah masalah saraf motorik, melainkan gangguan mental yang menyerang fisik.
Tangannya gemetar hebat, tubuhnya kaku, pikirannya berkabut. "Tremornya parah sekali. Aku sampai kesulitan menulis, kesulitan makan. Tapi waktu itu aku masih memaksakan diri untuk bekerja," kenangnya.
Thepi berusaha menjalani hari-harinya senormal mungkin. Ia tetap masuk kerja. Namun, pilihan itu justru menjadi bumerang. Kantor menjadi panggung bagi episode-episode yang tak terkendali.
Suatu kali, ia tertawa terbahak-bahak selama dua jam tanpa henti. Padahal, tak ada yang lucu. Ia tertawa di tengah kesibukan orang-orang bekerja. Seperti kesurupan. Air matanya mengalir, bukan karena lucu, tapi karena tubuhnya tidak mau berhenti tertawa. Ia tidak ingin tertawa, tapi tubuhnya punya kehendak sendiri.
"Itu sangat melelahkan. Aku tertawa sampai keringat dingin. Seperti terjebak di dalam tubuh sendiri," ujarnya.
Di tengah kekacauan itu, paranoia menghantuinya. Thepi merasa diawasi, diikuti, dan diintai. Ketakutan itu membuatnya berpindah-pindah kos hingga tujuh kali dalam dua bulan.
"Aku merasa seperti ada CCTV di kamar, seperti ada yang memasang kamera. Sampai tidak bisa tidur. Akhirnya pindah kos. Terus pindah lagi. Dan lagi. Dan lagi," ujarnya.
Mencari Pertolongan Keluarga, Malah 'Dirukiah'
Lelah dengan semua yang dialaminya, Thepi memutuskan untuk pulang kampung ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ia berharap menemukan ketenangan dan dukungan dari keluarga.
Namun, kenyataan tak sesuai harapan. Keluarga justru memiliki vonis lain. "Kamu disantet. Kena guna-guna kamu," kata Thepi menirukan ucapan keluarganya.
Sebagai keluarga Katolik yang konservatif, pemahaman tentang skizofrenia masih minim. Mereka lebih mengenal istilah 'guna-guna' daripada 'gangguan neurotransmitter'. Alih-alih mendapat perawatan medis, Thepi justru dibawa ke seorang rubiah, untuk menjalani pengobatan spiritual. Keluarga mengira ada makhluk halus yang merasukinya.
"Aku tidak tahu ya, tapi waktu itu aku merasa memang di dalam diriku ada orang lain," katanya pelan.
"Mungkin itu bagian dari episodenya. Tapi aku ikuti saja semua yang disuruh keluarga, soalnya aku sendiri bingung membedakan mana nyata mana tidak," kata dia.
Tentu saja, pengobatan spiritual itu tidak membuahkan hasil. Kondisinya justru semakin memburuk.
Setelah berbulan-bulan menjalani pengobatan spiritual tanpa hasil, keluarga akhirnya menyerah. Thepi dirujuk ke rumah sakit. Kondisinya semakin memburuk, baik secara psikis maupun fisik. Percobaan bunuh diri berulang kali membuat tubuhnya lemah.
"Di rumah sakit, dokter menjelaskan perlahan dengan sabar bahwa skizofrenia adalah gangguan medis, bukan sihir, bukan santet," kata Thepi.
Sejak saat itu, hidupnya berubah. Thepi kembali ke Jakarta dan memulai terapi rutin, menjalani pengobatan dengan disiplin.
Selama dua tahun, ia mengikuti saran dokter. Menjalani sesi konseling hingga dosis obat dikurangi perlahan, lalu dihentikan sepenuhnya.
"Tapi aku masih terapi. Enam bulan sekali, untuk jaga-jaga. Aku juga diajarin teknik nafas, cara kontrol diri. Dan yang penting, *support system*," kata dia.
Kehidupan yang sempat berantakan itu mulai tertata kembali. Pada tahun 2022, ia melahirkan anak pertamanya.
Alih-alih menjadi momen bahagia semata, proses itu justru membawa badai lain. "Chaos. Mungkin campur *baby blues*, mungkin karena aku pikir sudah normal. Tapi ternyata tidak. Sampai dengar bisikan, sampai mencoba bunuh diri lagi. Tapi, aku bisa keluar dari itu," kata dia.
Sekarang, Thepi tinggal di Bandung, bersama anak dan ibunya.
Sebagai seorang ibu tunggal, hari-harinya penuh tantangan, tapi juga penuh keteguhan. "Anakku tumbuh sehat. Aku pelan-pelan belajar jadi ibu. Ya, susah dijelaskan, sih. Tapi sekarang aku sudah bisa membedakan mana nyata mana tidak."
Ia tak lagi mengonsumsi obat, tapi menjaga diri lewat terapi, kontrol emosi, dan dukungan orang-orang terdekat.
Sesekali gejala itu datang menyapa, dengan bayangan-bayangan aneh. Tapi ia tak lagi tunduk padanya.
"Beberapa bulan lalu sempat duduk di kamar mandi kontrakan teman, terus lihat simbol-simbol aneh kayak di iPhone. Tapi sekarang aku tahu itu bukan nyata. Dan aku bisa kontrol," kata dia.
Stephania bukan hanya penyintas, dia adalah pejuang. Dalam sunyi yang tak bisa didefinisikan, ia belajar bicara pada dirinya sendiri. Dalam realita yang kabur, ia menulis ulang kenyataan. Dan dalam kegelapan yang menelan, ia menyalakan cahaya dari dalam.
"Semua tergantung dari *support system*. Dan keinginan dari diri sendiri," ujarnya mantap.
Hari ini, ia masih melukis, masih menulis. Dan, yang paling penting, ia masih bertahan.
"Aku pernah hampir kehilangan semuanya. Tapi sekarang, aku memilih bertahan. Untuk anakku, untuk diriku," tutupnya.
Skizofrenia katatonik memang tantangan yang berat, tapi bukan berarti tidak bisa dihadapi. Berikut beberapa tips yang bisa membantu, baik bagi penyintas maupun orang-orang di sekitarnya:
1. Cari Tahu Informasi yang Akurat - Penting untuk memahami apa itu skizofrenia katatonik, gejalanya, dan bagaimana cara menanganinya. Jangan percaya mitos atau informasi yang tidak benar. Misalnya, skizofrenia bukan disebabkan oleh santet atau guna-guna, melainkan gangguan medis yang kompleks.
Dengan informasi yang benar, kita bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan dan memberikan dukungan yang tepat.
2. Bangun Sistem Dukungan yang Kuat - *Support system* adalah kunci! Cari orang-orang yang bisa memberikan dukungan emosional, seperti keluarga, teman, atau kelompok dukungan sesama penyintas.
Misalnya, Thepi sangat terbantu dengan dukungan dari ibunya dan terapi yang rutin. Jangan ragu untuk meminta bantuan ketika merasa kesulitan.
3. Konsisten dengan Pengobatan dan Terapi - Skizofrenia katatonik memerlukan penanganan medis yang tepat. Ikuti anjuran dokter dan terapis dengan disiplin.
Jangan berhenti minum obat atau terapi tanpa konsultasi terlebih dahulu. Ingat, setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda, jadi penting untuk menemukan kombinasi pengobatan dan terapi yang paling efektif untukmu.
4. Kembangkan Strategi Koping yang Sehat - Temukan cara-cara yang sehat untuk mengatasi stres dan emosi negatif.
Misalnya, Thepi melukis dan menulis untuk mengekspresikan diri. Kamu juga bisa mencoba teknik relaksasi, meditasi, olahraga, atau melakukan hobi yang kamu sukai. Penting untuk menjaga keseimbangan hidup dan menghindari hal-hal yang bisa memicu gejala.
Apa saja gejala utama dari skizofrenia katatonik, menurut Dokter Budi?
Menurut Dokter Budi, seorang psikiater terkemuka, gejala utama skizofrenia katatonik meliputi kelumpuhan atau kekakuan tubuh, kesulitan berbicara, perilaku aneh atau tidak wajar, serta agitasi atau kegelisahan yang ekstrem. Gejala-gejala ini bisa sangat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Apakah skizofrenia katatonik bisa disembuhkan total, seperti yang ditanyakan oleh Siti?
Siti, pertanyaan yang bagus. Menurut Ibu Ani, seorang psikolog klinis, skizofrenia katatonik bukanlah penyakit yang bisa disembuhkan total, namun gejalanya bisa dikendalikan dengan pengobatan dan terapi yang tepat. Dengan penanganan yang konsisten, penyintas bisa menjalani hidup yang produktif dan berkualitas.
Bagaimana cara memberikan dukungan yang terbaik kepada teman atau keluarga yang mengidap skizofrenia katatonik, seperti yang ingin diketahui oleh Rina?
Rina, pertanyaan yang sangat penting. Bapak Joko, seorang pekerja sosial yang berpengalaman, menekankan pentingnya kesabaran, pengertian, dan dukungan tanpa syarat. Hindari menghakimi atau menyalahkan, dengarkan dengan penuh perhatian, dan bantu mereka mengakses layanan kesehatan mental yang dibutuhkan. Ingat, dukunganmu sangat berarti bagi mereka.
Apa peran keluarga dalam proses pemulihan penyintas skizofrenia katatonik, menurut pandangan Ibu Maria?
Ibu Maria, seorang aktivis kesehatan mental, menjelaskan bahwa keluarga memiliki peran yang sangat krusial. Keluarga adalah *support system* utama yang bisa memberikan dukungan emosional, membantu memantau pengobatan, dan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman. Keterlibatan keluarga secara aktif dapat meningkatkan peluang pemulihan penyintas.
Bagaimana cara membedakan antara gejala skizofrenia katatonik dengan gangguan mental lainnya, seperti yang ditanyakan oleh Anton?
Anton, pertanyaan yang bagus. Menurut Dokter Lisa, seorang psikiater, diagnosis skizofrenia katatonik memerlukan evaluasi medis yang komprehensif. Gejala katatonik seperti kelumpuhan atau kekakuan tubuh adalah ciri khasnya, namun penting untuk membedakannya dari gangguan mental lain yang mungkin memiliki gejala serupa. Konsultasikan dengan profesional kesehatan mental untuk mendapatkan diagnosis yang akurat.
Apa saja mitos yang sering beredar tentang skizofrenia katatonik dan bagaimana cara meluruskannya, menurut penjelasan Bapak Herman?
Bapak Herman, seorang edukator kesehatan mental, menjelaskan bahwa ada banyak mitos yang salah tentang skizofrenia katatonik, seperti anggapan bahwa penyakit ini disebabkan oleh santet atau bahwa penyintasnya berbahaya. Mitos-mitos ini dapat menyebabkan stigma dan diskriminasi. Penting untuk meluruskan mitos ini dengan memberikan informasi yang akurat dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang skizofrenia katatonik.