Ketahui RUU ASN, Memangnya untuk kepentingan siapa? Masa depan terjamin

Rabu, 14 Mei 2025 oleh journal

Ketahui RUU ASN, Memangnya untuk kepentingan siapa? Masa depan terjamin

RUU ASN: Untuk Siapa Sebenarnya?

“Ya, gimana ya, Mas. Atasan kami di kantor itu dipilih partai. Jadi, wajar dong kalau kami ikut 'main' sedikit di Pilkada kemarin.”

Kalimat jujur ini terlontar dari seorang ASN (Aparatur Sipil Negara) di sebuah warung kopi sederhana di Sumatra Utara. Tidak ada rasa bersalah, hanya fakta yang diungkapkan apa adanya.

Ini bukan cerita karangan. Realitanya, banyak ASN yang terjebak dalam pusaran politik praktis. Mereka tidak lagi netral, melainkan menjadi bagian dari strategi memenangkan kekuasaan saat Pemilu atau Pilkada. Ironisnya, birokrasi bukan hanya menjadi korban, tapi memilih untuk ikut bermain, meskipun risikonya adalah jabatan mereka sendiri.

Maka, wajar jika kemudian muncul kecurigaan saat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang ASN mulai digulirkan. Apakah ini benar-benar untuk memperkuat reformasi birokrasi, atau justru menjadi jalan pintas bagi elite politik untuk mengamankan kekuasaan menuju Pemilu 2029 nanti?

Pro dan Kontra RUU ASN

Draf RUU ASN per 5 Mei 2025 yang disusun oleh Badan Keahlian DPR (BKD) memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah pusat untuk memutasi ASN, termasuk mereka yang menduduki jabatan-jabatan strategis di kementerian maupun di daerah. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah perubahan pada Pasal 29 ayat (2), yang memperluas ruang gerak pemerintah pusat dalam urusan perpindahan dan penempatan ASN. (Sumber: Kompas, 12 Mei).

Tentu saja, hal ini memicu perdebatan sengit. Ada yang khawatir bahwa revisi ini akan membuka kembali pintu politisasi birokrasi seperti di era Orde Baru. Di sisi lain, ada yang melihatnya sebagai peluang untuk melindungi ASN dari tekanan politik kepala daerah petahana dan membuka jalan bagi karier yang berbasis pada kompetensi.

Dari pengalaman saya mendampingi Pilkada 2024, ada dua hal yang sangat mencolok. Pertama, betapa mudahnya ASN terseret dalam politik praktis, seolah netralitas hanya sekadar formalitas. Kedua, mereka terlihat tidak memiliki otonomi yang seharusnya.

Idealnya, seorang birokrat profesional harus berdiri di atas semua kepentingan. Namun, kenyataannya, partai politik sering kali lebih menentukan arah birokrasi daripada birokrat itu sendiri.

Pola serupa terjadi di banyak daerah, mulai dari Buton, Samosir, Situbondo, hingga kabupaten-kabupaten lainnya. ASN yang tidak netral bukan berarti semuanya mendukung petahana. Mereka terbagi ke dalam kubu-kubu yang terpolarisasi. Dan sering kali, petahana tetap diuntungkan karena dapat memanfaatkan birokrasi beserta sumber daya yang melekat padanya.

Contohnya, hasil survei Politika Research & Consulting (PRC) di Pilkada Jember pada November 2024 menunjukkan bahwa 44,4% ASN mendukung petahana Hendi-Balya, sementara kompetitornya, Fawaid-Joko, hanya mendapat dukungan 30,2%. Di Samosir, petahana Vandiko-Ariston unggul dengan 46,9%, jauh mengungguli lawannya yang hanya mendapat 19,8%.

Ini menunjukkan bahwa ASN sering kali terjebak dalam kekuasaan pihak yang sedang berkuasa. Tragisnya, kadang ASN salah membaca peta kekuatan. Salah perhitungan, salah berinvestasi loyalitas. Akibatnya? Bukan hanya mereka yang rugi, tapi juga kredibilitas birokrasi secara keseluruhan.

Mencari Jalan Tengah yang Ideal

Saya akan memberikan contoh kasus di Pilkada Situbondo tahun 2020. Di sana, ASN tidak hanya terseret dalam politik dukung-mendukung, tapi juga rentan menjadi korban pasca-pilkada. Salah satu contohnya adalah Pak Marwito, seorang guru senior yang dimutasi ke wilayah pegunungan terpencil, jauh dari tempat tinggalnya. Ia menjadi korban balas dendam politik karena dianggap tidak mendukung bupati terpilih.

Jika revisi UU ASN menyentuh soal mutasi dan promosi, maka tujuannya harus dijalankan dalam semangat profesionalisme, bukan sebagai alat kontrol baru dari pemerintah pusat. Sentralisasi mutasi hanya masuk akal jika digunakan untuk memutus siklus balas dendam kepala daerah terhadap ASN, seperti yang terjadi di Situbondo.

Namun, saya juga tidak sepenuhnya sejalan dengan usulan kelompok yang ingin menghidupkan kembali Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Pengalaman menunjukkan bahwa KASN tidak cukup kuat untuk menghadang politisasi birokrasi. Dalam beberapa kasus, KASN justru ikut terseret dalam tarik-menarik kepentingan elite.

Yang dibutuhkan di sini bukan hanya kelembagaan pengawasan, tapi sistem checks and balances yang benar-benar berfungsi.

Akhiri Drama Netralitas ASN

Lebih dari itu, kita harus mulai membayangkan birokrasi sebagai kekuatan yang otonom. Bukan kaki tangan partai, bukan korban politik, tapi aktor profesional yang mendistribusikan pelayanan berdasarkan kebutuhan warga, bukan loyalitas politik pada kekuasaan.

Jika komitmen ini tidak bisa ditegakkan, mari kita berhenti berpura-pura. Sekalian saja ubah pasal netralitas ASN. Izinkan ASN terlibat dalam politik secara terbuka, asalkan transparan dan akuntabel. Bagaimana? Setidaknya, kita tidak hidup dalam kepura-puraan bahwa ASN itu steril dari politik, padahal praktiknya tidak demikian.

Selama ini, yang kita punya adalah ASN yang bermain politik secara diam-diam, main mata, bisik-bisik, membentuk loyalitas yang terselubung. Larangan berpolitik tidak membuat mereka bersih, hanya membuatnya sulit diawasi. Akhirnya, narasi atau aturan yang ada justru hanya sebatas hipokrisi dan transaksi.

Keterbukaan bisa jadi jalan keluar. Biarkan ASN ikut politik, asalkan tunduk pada aturan, wajib mundur dari jabatan, tidak menggunakan fasilitas negara, dan patuh pada etika publik. Setidaknya, kita tahu siapa berpihak ke siapa. Dan itu bisa jadi awal untuk membangun sistem yang lebih jujur.

Sekarang, keputusan ada di tangan pemerintah dan DPR. Apakah revisi UU ASN akan melindungi ASN dari kuasa lokal yang semena-mena? Atau malah membuka jalan baru bagi pusat untuk mengendalikan birokrasi? Kita harus jujur, meskipun dalam politik mencari kejujuran itu seperti mencari es cincau tengah malam di kampung saya.

Satu hal yang pasti, jika kita terus memaksa birokrasi untuk netral dalam situasi politik yang tidak netral, kita hanya akan mengulang lingkaran yang sama: ASN tetap bermain politik, meskipun diam-diam, dengan risiko yang jauh lebih besar.

Demokrasi yang matang bukan yang pura-pura steril dari politik, tapi yang berani mengatur keterlibatan secara terbuka, adil, dan bertanggung jawab.

Nurul Fatta, Konsultan Politik di Politika Research & Consulting (PRC). (rdp/rdp)

Hai, Sobat! Merasa bingung bagaimana caranya menjaga netralitas sebagai ASN di tengah panasnya suhu politik? Tenang, bukan kamu saja kok yang merasakan ini. Yuk, simak beberapa tips praktis berikut ini:

1. Pahami Batasan dan Aturan - Sebelum melangkah lebih jauh, pastikan kamu benar-benar memahami aturan dan batasan yang berlaku bagi ASN terkait politik. Pelajari Peraturan Pemerintah (PP) tentang netralitas ASN. Dengan memahami aturan, kamu bisa menghindari jebakan yang tidak disadari.

Contoh: Jangan ikut menyebarkan konten kampanye di media sosial, meskipun hanya sekadar me-repost.

2. Jaga Komunikasi dan Pergaulan - Hindari terlibat dalam percakapan politik yang berpotensi menimbulkan konflik atau persepsi keberpihakan. Jaga jarak dengan tim sukses atau pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kampanye.

Contoh: Jika ada teman yang mengajak diskusi politik yang terlalu intens, coba alihkan pembicaraan ke topik lain yang lebih netral.

3. Fokus pada Pelayanan Publik - Ingatlah bahwa tugas utama ASN adalah memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, tanpa memandang latar belakang politik mereka. Prioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Contoh: Saat memberikan pelayanan, perlakukan semua warga dengan adil dan setara, tanpa membeda-bedakan berdasarkan pilihan politik mereka.

4. Laporkan Jika Ada Tekanan - Jika kamu merasa mendapatkan tekanan atau intimidasi untuk mendukung salah satu pihak, jangan ragu untuk melaporkannya kepada atasan atau pihak berwenang. Jangan biarkan dirimu menjadi korban politisasi.

Contoh: Jika kepala dinas memaksa kamu untuk ikut dalam kegiatan kampanye, segera laporkan hal ini kepada KASN atau instansi terkait.

Apakah RUU ASN ini akan benar-benar melindungi ASN dari politisasi, menurut pendapat Bambang?

Menurut Prof. Dr. Eko Prasojo, Guru Besar Ilmu Administrasi Negara UI, "RUU ASN memiliki potensi untuk melindungi ASN, tetapi implementasinya akan sangat bergantung pada komitmen dan integritas para pemangku kepentingan. Pengawasan yang ketat dan partisipasi publik sangat penting untuk memastikan RUU ini tidak disalahgunakan."

Bagaimana pandangan Siti mengenai netralitas ASN di era politik yang semakin dinamis ini?

Menurut Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem, "Netralitas ASN adalah fondasi penting bagi demokrasi yang sehat. ASN harus mampu melayani semua warga negara tanpa diskriminasi. Perlu ada mekanisme yang jelas dan efektif untuk menegakkan netralitas ini."

Apa langkah konkret yang bisa dilakukan oleh seorang ASN seperti Joko agar tidak terseret dalam politik praktis?

Menurut Agus Rahardjo, Mantan Ketua KPK, "Integritas adalah kunci. ASN harus memiliki komitmen yang kuat untuk menjalankan tugasnya secara profesional dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik. Selain itu, penting juga untuk membangun sistem pengawasan yang efektif dan transparan."

Menurut pendapat Ani, apakah KASN saat ini sudah cukup efektif dalam mengawasi netralitas ASN?

Menurut Bima Arya Sugiarto, Walikota Bogor, "KASN memiliki peran penting, tetapi perlu diperkuat lagi kewenangannya dan sumber dayanya. Pengawasan netralitas ASN membutuhkan kerjasama dari semua pihak, termasuk masyarakat sipil dan media."

Bagaimana cara Lisa agar bisa melaporkan jika mengalami tekanan politik di tempat kerja?

Menurut Komnas HAM, "Setiap ASN berhak mendapatkan perlindungan hukum jika mengalami intimidasi atau tekanan terkait dengan netralitasnya. Laporkan segera ke atasan, KASN, atau lembaga pengaduan lainnya. Jangan takut untukSpeak Up karena ada undang-undang yang melindungi Anda."

Apa harapan Anton terhadap revisi UU ASN ini ke depannya?

Menurut Prof. Dr. Rhenald Kasali, Guru Besar Manajemen UI, "Revisi UU ASN harus menjadi momentum untuk membangun birokrasi yang profesional, kompeten, dan berintegritas. Kita butuh ASN yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat."